Senin, 23 Juni 2008

dahsyatnya NIAT

apakah anda pernah membaca buku The Secret? catatan yang dapat saya petik bahwa dalam ajaran ummat islam bahwa segala sesuatu yang kita cita-citakan dan itu baik, insya Allah apabila dibarengi dengan niat yang tulus dan senantiasa berdoa kepada Allah SWT, apa yang diniatkan tersebut insya Allah terwujud.

inspirasi dari buku asmanadia

saya mengetahui buku mbak asmanadia untuk pertama kalinya dari teman saya yang berjudul kalau tidak salah catatan hati seorang istri, maaf yach kalau salah.... buku itu cukup menggugah dan menyadarkan saya. banyak cerita dalam buku itu sama seperti yang saya alami, dan itu menjadi penguat bagi saya bahwa ternyata setiap masalah itu dapat diatasi dengan kembali berserah kepada Allah SWT. Subhanallah.......

pengelolaan lahan bekas HPH

PERBAIKAN DAN PENGELOLAAN

LAHAN BEKAS HPH YANG LESTARI

I. PENADAHULUAN

Hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang dirasakan secara langsung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air, pencegahan erosi. Keberadaan hutan ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan di dalam pemanfaatan dan Pengelolaan hutan. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan (Reksohadiprojo, 2000). Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan rakyat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibolehkan mengubah fungsi utamanya.

Akan tetapi perkembangan Hutan di Indonesia telah mengalami degradasi, hutan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, hal ini terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Dari luas hutan produksi saat ini adalah 64 juta hektar tersebar di seluruh Indonesia, dikelola oleh berbagai lem­baga antara lain yaitu Dinas Kehutanan, HPH (Hak Peng­usahaan Hutan), BUMN (Badan Usaha Milik Negara), HPH perusahaan patungan (BUMN dan Swasta) dan Persero.

Lebih dari setengah kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu berdasarkan sistem tebang pilih yang pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan HPH. Dari kenyataan yang ada kebanyakan HPH telah melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan, serta kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan terhadap pengelolaan hutan sangat lemah dan, lama kelamaan, banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi secara berlebihan.

Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini hampir 30 persen dari konsesi HPH yang telah disurvei, masuk dalam kategori "sudah terdegradasi". Areal konsesi HPH yang mengalami degradasi memudahkan penurunan kualitasnya menjadi di bawah batas ambang productivitas.

Hutan-hutan yang telah mengalami penurunan kualitas di bawah batas ambang productivitas, cenderung ditinggalkan oleh perusahaan pemilik HPH dan mencoba mencari lokasi lain yang lebih produktif misalnya ke wilayah Irian yang potensi kayunya masih banyak. Lahan yang ditinggalkan ini telah mengalami degradasi lahan yang semakin tinggi, sehingga usaha-usaha untuk perbaikan dan pemulihan lahan tersebut harus segera di upayakan.

II. Permasalahan Lahan Bekas HPH :

Pada tahun 1995, ada sekitar 585 konsesi HPH, yang luasnya mencakup 63 juta ha di seluruh Indonesia – kira-kira sepertiga luas total lahan di Indonesia (Brown, 1999:13). Namun demikian, pada pertengahan tahun 1990-an beberapa izin HPH dicabut, sebagian karena pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemegang konsesi HPH dan sebagian karena nilai tegakan pohon di banyak konsesi HPH menurun, yang mengurangi daya tariknya sebagai kegiatan komersial jangka panjang. Brown memperkirakan bahwa jumlah konsesi HPH berkurang hingga 464, sedangkan luas hutan yang berada di bawah HPH berkurang menjadi 52 juta ha. (Lihat Gambar 1)

Gambar 1. Kawasan HPH di Lima Pulau Utama, 1985 - 1998

Pada awal tahun 2000, Departemen Kehutanan melaporkan bahwa "sebagian besar" hutan yang berada di bawah HPH berada dalam "kondisi rusak".10 Tampaknya perusahaan kayu terus-menerus melanggar Undang-undang Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), yang wajib mereka taati dalam masa kontrak 20 tahun itu (World Bank, 2001:19).

Laporan dari Departemen Kehutanan pada bulan Juli 2000 menunjukkan bahwa dalam sebuah survei pada lahan hutan seluas hampir 47 juta ha yang berada di areal HPH aktif atau yang habis masa berlakunya, sekitar 30 persen mengalami degradasi, kualitasnya turun menjadi semak atau dikonversi menjadi lahan pertanian, dan hanya 40 persen masih diklasifikasikan sebagai hutan primer dalam kondisi yang baik

(Lihat Tabel berikut).

Tabel 1. Kondisi Hutan di 432 HPH yang ada dan Habis Masa berlakunya ( Menurut Analisis Citra Landsat tahun 1997-1999)






Masalah – masalah lain pada areal hutan yang diterlantarkan :

  • Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini kemungkinan telah ditebang habis atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun hanya sekitar 2 juta ha yang telah ditanami, sedangkan sisanya seluas 7 juta ha menjadi lahan terbuka yang terlantar dan tidak produktif.
  • Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 hanya 2,6 juta ha, sementara perkebunan baru untuk tanaman keras lainnya kemungkinan luasnya mencapai 1-1,5 juta ha. Sisanya seluas 3 juta ha lahan yang sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan terlantar. Banyak perusahaan yang sama, yang mengoperasikan konsesi HPH, juga memiliki perkebunan. Dan hubungan yang korup berkembang, dimana para pengusaha mengajukan permohonan izin membangun perkebunan, menebang habis hutan dan menggunakan kayu yang dihasilkan utamanya untuk pembuatan pulp, kemudian pindah lagi, sementara lahan yang sudah dibuka ditelantarkan.
  • Pembakaran secara sengaja oleh pemilik perkebunan skala besar untuk membuka lahan, dan oleh masyarakat lokal untuk memprotes perkebunan atau kegiatan operasi HPH mengakibatkan kebakaran besar yang tidak terkendali, yang luas dan intensitasnya belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari 5 juta ha hutan terbakar pada tahun 1994 dan 4,6 juta ha hutan lainnya terbakar pada tahun 1997-98. Sebagian dari lahan ini tumbuh kembali menjadi semak belukar, sebagian digunakan oleh para petani skala kecil, tetapi sedikit sekali usaha sistematis yang dilakukan untuk memulihkan tutupan hutan atau mengembangkan pertanian yang produktif.




Gambar 2 : Lahan Bekas HPH yang di terlantarkan




Gambar 3: Lahan Bekas HPH, sebagian digunakan oleh para petani skala kecil

Lahan-lahan yang diterlantarkan ini menjadi lahan kritis adalah gundul, berkesan gersang, dan bahkan muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam (Hakim et al., 1991). Tingkat produktivitas rendah yang ditandai oleh tingginya tingkat kemasaman tanah, kekahatan hara P, K, C dan Mg, rendahnya kapasitas tukar kation (KT), kejenuhan basa dan kandungan bahan organik, tingginya kadar Al dan Mn, yang dapat meracuni tanaman dan peka terhadap erosi.

Fujisaka dan Carrity (1989) mengemukakan bahwa masalah utama yang dihadapi di lahan kritis antara lain adalah lahan mudah tererosi, tanah bereaksi masam dan miskin unsur hara.

III. Strategi Pengelolaan Lahan yang Lestari

Beberapa peluang pengelolaan lahan bekas HPH yang berwawasan konservasi dapat dilakukan dan disesuaikan pada kondisi lahan, tanpa megabaikan kepentingan ekonomis sesaat (yang bisa merusak ekosistem hutan dalam jangka panjang) tetapi juga mempertimbangkan aspek konservasinya.

A. Budidaya Pertanian Ramah Lingkungan

1. Aplikasi Usahatani Konservasi

Banyak teknologi yang dianjurkan untuk menekan kerusakan lahan akibat erosi tanah, seperti pembuatan teras dan galengan. Akan tetapi, petani pada umumnya tidak memiliki cukup biaya untuk pembuatan teras. Oleh karena itu, belakangan ini telah dianjurkan pula sistem usahatani konservasi.

Sistem usahatani konservasi adalah penataan usahatani yang stabil berdasarkan daya dukung lahan yang didasarkan atas tanggapannya terhadap faktor-faktor fisik, biologis dan sosial ekonomis serta berlandaskan sasaran dan tujuan rumah tangga petani dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia (UACP-FSR 1990).

Penanganan masalah secara parsial yang telah ditempuh selama ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah yang kompleks dan juga tidak efisien ditinjau dari segi biaya. Pendekatan parsial untuk mengatasi masalah produktivitas tanaman adalah ciri suatu penelitian yang berbasis komoditas. CGIAR (Consultative Group on International Agriculture Research) mengubah strategi penelitian melalui pendekatan holistik dengan fokus sumberdaya. Dalam skala makro strateginya disebut ecoregional initiative dan dalam skala mikro dijabarkan dalam integrated crop management (Kartaatmadja dan Fagi, 1999).

Kunci keberhasilan budidaya tanaman pangan berkelanjutan antara lain 1) mengusahakan agar tanah tertutup tanaman sepanjang tahun guna melindungi tanah dari erosi dan pencucian 2) mengembalikan sisa-sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang ke dalam tanah guna memperbaiki/mempertahankan bahan organik tanah (Effendi et al, 1986). Sedangkan kebiasaan petani dalam mengusahakan tanaman pangan sebagian besar limbah pertaniannya diangkut keluar untuk pakan dan kayu bakar, dibakar pada saat persiapan tanah atau terbawa erosi, oleh karena itu makin lama kandungan bahan organik tanah makin menurun dan diikuti oleh peningkatan erosi tanah karena kurangnya tindakan konservasi tanah.

Pengusahaan budidaya tanaman yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun merupakan tindakan konservasi vegetatif yang baik. Tindakan tersebut akan lebih baik lagi jika sisa tanaman juga dikembalikan sebagai tambahan bahan organik tanah. Bahan organik yang tinggi tidak hanya akan menambah nutrisi tanah setelah melapuk, tetapi juga dapat berperan sebagai penyanggah dari pupuk yang diberikan, mengikat air lebih baik dan meningkatkan daya infiltrasi tanah dari curah hujan yang jatuh akhirnya dapat mengurangi erosi dan aliran permukaan serta dapat meningkat produksi dan pendapatan petani.

Pupuk hijau tanaman leguminosa dapat meningkatkan kadar C organik, Kadar N total dan KTK tanah (Lukman dan Mursidi, 1987). Dengan demikian mulsa diharapkan dapat mensubsidi unsur hara yang biasa ditambahkan melalui pupuk buatan. Toha et al., (1985) mengemukakan bahwa pemberian mulsa lamtorogung 30 t/ha dengan tanpa pupuk N dapat mengimbangi pemupukan 45 kg N/ha dengan tanpa mulsa.

Berdasarkan kaidah konservasi tanah dan air, lahan yang berkemiringan 15 % tidak dibenarkan untuk usahatani tanaman pangan (semusim). Akan tetapi, karena tidak punya pilihan lain maka petani menggunakan lahan tersebut untuk usahatani tanaman semusim. Sehubungan dengan itu, Hakim et al., (1991) berpendapat bahwa usahatani tanaman pangan pada lahan tersebut dapat dianjurkan, tetapi perlu diikuti dengan upaya konservasi tanah dan air. Dari laporan Hakim et al., (1991) diketahui bahwa tanaman jagung, kedelai dan kacang hijau dapat berproduksi dengan baik pada lahan kritis yang sudah dikonservasi.

Upaya dalam mempertahankan atau meningkatkan produktivitas lahan kritis hendaknya didekati dengan menerapkan sistem usahatani konservasi melalui, pengaturan pola tanam, penambahan bahan organik dengan daur ulang sisa panen dan gulma, serta penerapan budidaya lorong (Adiningsih dan Mulyadi, 1992). Penerapan teknologi tersebut akan memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas tanah seperti meningkatnya ketersediaan P dan bahan organik tanah serta menurunnya kadar Al.

2. Penggunaan Biofertiliser dan Bahan Organik

· Biofertiliser

Beberapa penelitian untuk menghasilkan teknologi yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan tanpa menggunakan pupuk kimia buatan telah banyak di lakukan. Salah satu teknologi yang saat ini dikembangkan adalah pengelolaan hara terpadu yang mendukung pemupukan organik dan pemanfaatan biofertilizer.

Pengertian biofertilizer secara umum adalah pemanfaatan strain-strain unggul baik berupa sel hidup ataupun dalam bentuk laten dari mikroba penambat nitrogen (N), mikroba pelarut phosphat (P), atau mikroba perombak selulosa yang diberikan ke biji, tanah ataupun tempat pengomposan dengan tujuan meningkatkan jumlah mikroba dan mempercepat proses terjadinya hara bagi tanaman. Biofertilizer yang umum digunakan adalah effective microorganisms (EM), inokulum Rhizogin, Azotobacter, Pseudomonas, Bacillus, Trichoderma, dan VA Mycorrhiza. Pemanfaatan biofertilizer yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dan organik memberikan prospek cukup baik untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah (Prihatini, Kentjanasari, dan Sri Adiningsih, 1966).

Effective microorganisms (EM) merupakan salah satu jenis biofertolizer yang dikemas dalam larutan sebagai EM-3, EM-4, dan EM-5. Namun yang paling dikenal dikalangan petani adalah EM-4. EM-4 diformulasikan dalam bentuk cairan dengan warna coklat kekuning-kuningan, berbau asam mengandung 90% bakteri Lactobacillus sp dan tiga jenis mikroorganisme lainnya, yaitu bakteri fotosintetik, streptomyces sp, dan yeast (mikroorganisme fermentasi). Mikroorganisme tersebut dalam fase istirahat dan bila diaplikasikan dapat dengan cepat menjadi aktif merombak bahan organik dalam tanah. Hasil rombakan bahan organik tersebut berupa senyawa organik, antibiotik (alkohol dan asam laktat) vitamin (A dan C), dan polisakarida (Higa dan Wididana, 1994). Selain menghasilkan senyawa-senyawa organik tersebut, EM-4 juga dapat merangsang perkembangan dan pertumbuhan mikroorganisme lain yang menguntungkan seperti bakteri pengikat nitrogen, bakteri pelarut fosfat, mikroorganisme yang bersifat antagonis terhadap patogen, serta dapat, menekan pertumbuhan jamur patagen tular tanah (Wididana dan Higa, 1993; Muntoyah, 1994).

Penggunaan effective microorganisms di dalam tanah hampir sama pengarunya dengan rotasi tanaman. Penerapan rotasi tanaman dapat memberikan kesempatan bagi mikrooganisme yang menguntungkan untuk beregenerasi sehingga dapat menekan mikroorganisme yang merugikan tanaamn. Dengan penambahan microorganisme kedalam tanah berarti pola tanam monokultur secara kontinyu dapat dilakukan tanpa mengakibatkan penurunan produksi tanaman (Higa, 1994).

· Bahan Organik

Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis, sehingga unsur C merupakan penyususn utama dari bahan organik tersebut yang berada dalam bentuk senyawa-senyawa polisakarida. Melaui penambahan bahan organik, tanah yang mulanya berat menjadi berstruktur remah yang realtif lebih ringan. Infiltrasi dapat diperbaiki dan tanah dapat menyerap air lebih cepat, sehingga aliran permukaan dan erosi dapat diperkecil, demikian pula aerasi tanah dapat lebih baik karena ruang pori bertambah akibat dari terbentuknya agregat (Sugito, Nuraini, dan Nurhayati). Bahan organik juga berfungsi sebagai bahan nutrisi bagi makro dan mikro fauna (Prihatini, Kentjanasari, dan Sri Adiningsih, 1996).Kondisi demikian ini pada akhirnya akan dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang diusahakan

3. Penerapan Sistem Budidaya Lorong

Budidaya lorong adalah upaya pemanfaatan lahan dengan tanaman tahunan dan tanaman semusim. Tanaman semusim ditanam di lorong tanaman pagar yang umumnya berupa famili kacang-kacangan (Kang, Wilson dan Lowson, 1984). Tanaman pagar berfungsi sebagai penahan erosi dan penghasil bahan organik yang dapat meningkatkan produktivitas lahan (IPB, 1987)

Hasil penelitian Evenson dan Jost (1986) di Sitiung, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa tanaman pagar jenis Albisia menghasilkan biomas dan nitrogen lebih banyak dibanding Kaliandra. Sedangkan Adiningsih et al., (1986) mengemukakan bahwa di Kuamang Kuning, Jambi, Kalindra dan Lamtoro menghasilkan biomas lebih banyak daripada Flemengia congesta. Zaini et al., (1985) melaporkan bahwa biomas yang dihasilkan lamtoro di Sitiung, Sumatera Barat berbisar antara 4,6-6,3 t/ha/tahun, Flemengia congesta sekitar 5 t/ha/tahun, sedangkan Albisia berkisar antara 2,5-3,1 t/ha/tahun.

Hasil penelitian Hakim et al., (1993) menunjukkan bahwa budidaya lorong dengan rumput raja (king grass) sebagai tanaman pagar dan rotasi jagung-kedelai atau jagung-jagung sebagai tanaman lorong, dapat disarankan pada lahan kritis. Rumput raja selain sebagai pupuk hijau juga dapat menekan laju erosi.

Contoh lain pada hasil penelitian usahatani konservasi model B dan C yang menggunakan tanaman pagar berupa glirisida dan rumput gajah sebagai penguat teras ternyata lebih baik menekan aliran permukaan dan erosi tanah dibanding usahatani konservasi petani yang hanya menanam rumput gajah. Selanjutnya Pratomo mengemukakan bahwa kecilnya erosi yang terjadi pada model B dan C karena adanya barisan tanaman jagung dan ubi kayu yang ditanam secara rapat searah kontour pada setiap jarak 3 m pada perlakuan model C dan tanaman jagung pada model B Tabel 2 dan 3)

Tabel 2. Produksi Biomas Berupa Pangkasan Rumput Gajah dan Glirisidia Pada Masing Masing Pola Tanaman.

Pola Tanam

Rumput gajah

(kg/m)

Glirisida

(kg/5 m)

UT konservasi petani (padi+jagung+ubi kayu-kroro kratok (Model A)

UT Tana.Pagar (padi+jagung+ubi kayu+kacang hijau-kroro kratok (Model B)

UT Tana.Pagar (padi+jagung+ubi kayu+tembakau (Model C)

5

4,5

5

-

5

5

Sumber : Pratomo et al., 2000

Produksi biomas pada tahun kedua sudah berupa pangkasan rumput gajah dan glirisida. Rumput gajah pada tahun kedua sudah dipangkas 2 kali sedangkan glirisidia baru 1 kali pangkas.

Tabel 3. Besarnya Aliran Permukaan dan Erosi Tanah Pada Masing-Masing Pola Tanaman.

Pola Tanam

Aliran Permukaan

(m3/ha)

Erosi Tanah

(t/ha)

UT konservasi petani (padi+jagung+ubi kayu-kroro kratok (Model A)

UT Tana.Pagar (padi+jagung+ubi kayu+kacang hijau-kroro kratok (Model B)

UT Tana.Pagar (padi+jagung+ubi kayu+tembakau (Model C)

5.788

1.316

1.351

20,106

1,820

2,039

Sumber : Pratomo et al., 2000

Budidaya lorong adalah upaya pemanfaatan lahan dengan tanaman tahunan dan tanaman semusim. Tanaman semusim ditanam di lorong tanaman pagar yang umumnya berupa famili kacang-kacangan (Kang, Wilson dan Lowson, 1984). Tanaman pagar berfungsi sebagai penahan erosi dan penghasil bahan organik yang dapat meningkatkan produktivitas lahan (IPB, 1987)

Hasil penelitian Evenson dan Jost (1986) di Sitiung, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa tanaman pagar jenis Albisia menghasilkan biomas dan nitrogen lebih banyak dibanding Kaliandra. Sedangkan Adiningsih et al., (1986) mengemukakan bahwa di Kuamang Kuning, Jambi, Kalindra dan Lamtoro menghasilkan biomas lebih banyak daripada Flemengia congesta. Zaini et al., (1985) melaporkan bahwa biomas yang dihasilkan lamtoro di Sitiung, Sumatera Barat berbisar antara 4,6-6,3 t/ha/tahun, Flemengia congesta sekitar 5 t/ha/tahun, sedangkan Albisia berkisar antara 2,5-3,1 t/ha/tahun.

4. Bercocok Tanam Secara Tumpangsari

Bertani secara tumpangsari adalah penanaman dua atau lebih jenis tanaman sekaligus pada sebidang tanah yang sama dan pada hakekatnya merupakan usaha tani yang intensif berdasarkan pemanfaatan waktu dan ruang tumbuh (Andrews dan Kassam, 1979).

Intensifikasi dengan cara ini dapat meningkatkan hasil per satuan luas pahan persatuan waktu, mengurangi resiko kegagalan panen, serta meningkatkan produksi lahan, tenaga, waktu dan sumber usahatani yang tersedia selama satu musim tanam (Thahir dan Hatmadi, 1986).

Tumpangsari tanaman leguminosa dengan serelia merupakan suatu kombinasi yang telah umum dilakukan oleh petani. Menurut Trenbath (1976), penggunaan tanaman leguminosa seeprti kacang-kacangan sebagai tanaman sela dapat menguntungkan bagi tanaman pokok, karena banyak menghasilkan nitrogen, dapat memperbaiki struktur tanah serta dapat menekan tumbuhnya rumput-rumputan. Selanjutnya Lingga (1986) menyatakan, bintil-bintil akar yang umumnya erdapat pada tanaman leguminosa juka bersimbiose dengan tanaman lain mempunyai kemampuan mengikat unsur nitrogen dari udara bebas. Hal ini sangat menguntungkan, selain dapat menambah nitrogen dalam tanah juga dapat memenuhi kebutuhan nitrogen bagi tanaman lain (Munandar, 1984). Seperti diktahui, unsur nitrogen merupakan unsur makro yang paling menonjol diantara unsur-unsur yang diprlukan oleh tanaman. Menurut Gardner, Pearce dan Mitchell (1985) pertanian sangat tergantung pada nitrogen yang dihasilkan oleh organisme yang mampu menambat nitrogen untuk produksi tanaman budidaya.

Chapman dan Myers (1987) menyatakan bahwa hasil fiksasi nitrogen oleh legum dalam tumpangsari dapat tersedia bagi tanaman nono legum yang berada di sekitarnya selama musim pertumbuhannya. Pembususkan akar dan nodul erupakan hal penting dalam tranfer nitrogen, walaupun organ-organ tersebut umumnya mengandung hanya sebagian kecil dari total tanaman. Sebagai contoh, hanya 3 – 40 kg nitrogen per hektar mungkin yang terdapat dalam bintil akar legum yang ditumbuhkan di lapangan.

Selain keuntungan dalam bentuk kontribusi nitrogen yang dapat diberikan dalam penanaman secara tumpangsari, juga dapat mematahkan siklus hidup dari patgen atau hama tertentu melalui rotasi tanaman (Palaniappan, 1988). Dengan adanya rotasi tanaman berarti sumber makanan inang hama maupun penyakit menjadi tidak ada atau berkurang sehingga perkembangan dari organisme pengganggu tanaman tersebut menjadi terhambat (Alexander, 1977). Masih banyak keunggulan-keunggulan yang lain didapat dari penanaman secara tumpangsari seperti keanekaragaman hasil panen, efesiensi dalam tenaga, modal dan sebagainya.

5. Seleksi Tanaman Adaptif Pada Kondisi Cekaman Lingkungan

Masalah mendasar dan tantangan berat yang harus dihadapi pada lahan yang tidak produktif adalah bagaimana mengubah lahan tersebut menjadi lahan produktif dan bagaimana menghambat agar lahan tersebut tidak semakin meluas. Karena itu berbagai teknik rehabilitasi dan sistem budidaya yang tepat telah banyak dicobakan pada lahan tersebut.

Upaya-upaya yang selama ini dilakukan membutuhkan biaya yang cukup besar dan memerlukan dukungan semua pihak serta perlu dukungan ahli ekofisiologi dan pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas tanaman yang adaptif pada lahan yang memiliki karakteristik cekaman lingkungan tertentu (kesuburan rendah, ketersediaan air terbatas/berlebih dan lain-lain).

Pemuliaan tanaman konvensional akan tetap memegang peranan utama dalam perbaikan varietas. Berbagai kelemahan dan keterbatasan cara ini dapat diatasi dengan bantuan bioteknologi. Secara bertahap, bioteknologi akan dikembangkan untuk mendapatkan atau memindahkan gen tertentu untuk menghasilkan varietas baru dengan sifat-sifat yang diinginkan. Meningkatkan produktivitas melalui rekayasa genetik merupakan suatu keuntungan tambahan dalam perbaikan sifat tanaman sehingga varietas yang dihasilkan diharapkan dapat lebih efisien memanfaatkan hara, tahan terhadap hama dan penyakit serta deraan lingkungan (Manwan, 1993).

Informasi mengenai sifat-sifat yang mudah teramati dapat dijadikan penduga bagi sifat yang dituju dalam seleksi tanaman adaptif. Semakin erat hubungan antara sifat penduga dengan sifat yan dituju, maka akan semakin memudahkan proses seleksi. Sifat-sifat yang berperan menentukan adaptif tidaknya suatu tanaman yang ekspresinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh sebab itu fenotipe yang ditemui di lapangan akan sangat beragam. Adapun syarat-syarat seleksi tanaman adaptif terhadap lingkungan kritis adalah tahan terhadap pH tanah rendah, toleran terhadap cekaman air, tahan terhadap defisiensi hara terutama N dan P dan lain-lain.

B. Pengelolaan Lahan Berkelanjutan Melalui Agroforesty

1. Pengertian Agroforestry

Adanya penemuan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan, yang seakan-akan tidak dapat dikendalikanlagi. Kecenderungan pengrusakan lingkungan ini perlu dicegah dengan sungguh-sungguh, dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengawetkan lingkungan fisik secara efektif, tetapi sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan sandang bagi manusia.

Menurut International Council for Research in Agroforetry, mendefinisikan Agro forestry sebagai berikut :

" Suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanamaan (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yanag sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat". (King dan Chandler, 1978)

Dalam suatu seminar mengenai Agroforestry dan pengendalian perladangan berpindah-pindah, di Jakarta Nopember 1981, mendefinisikan Agroforestry sebagai berikut :

" Suatu metode penggunaan lahan secara oftimal, yang mengkombinasikan sitem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (suatu kombinasi kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan azas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan hutan atau diluarnya, dengan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat " (Satjapradja, 1981).

Nair (1989) setelah meninjau kembali definisi-definis tersebut, mengusulkan untuk menggunakan definisi yang dirumuskan oleh Lundgren dan Raintree sebagai berikut :

" Agroforestri adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palm, bambu, dsb) ditanam bersamaan dengan tanaman pertaian, dan/atau hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan didalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan" (Nair, 1989)

Menurut Narain dan Grewal (1994), Nair 1989), Muthoo and Chipeta (1991), agroforestri berpotensi sebagai suatu upaya konservasi tanah dan air, serta menjamin keberlanjutan produksi pangan, bahan bakar, pakan ternak maupun hasil kayu, khususnya dari lahan-lahan marginal dan terdegradasi. Agroforestri merupakan nama kolektif bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan yang sesuai diterapkan pada lahan-lahan pertanian beresiko tinggi tehadap erosi, terdegradasi, dan lahan-lahan marginal. Sistem ini merupakan salah satu praktek pertanian konservatif dan produktif, yang telah diterapkan dan dikembangkan oleh petani di daerah tropika termasuk Indonesia, dimana kemampuan pohon-pohon untuk tumbuh pada kondisi iklim dan tanah yang kurang menguntungkan. Sistem tersebut memiliki potensi konservasi tanah dan air, serta perbaikan bagi tanah-tanah marginal di daerah tropis, subtropis, humid, semiarid, dan berlereng. Seperti halnya sistem indigenous dimana pohon-pohon sulit untuk tumbuh dan kemampuan regenerasi tanah sangat rendah (Cooper et al, 1996).

Klasifikasi sistem agroforestri dengan berbagai sistem penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Klasifikasi Sistem Agroforestri (Huxley, 1986; Young 1989; Nair ,1990)

Predominantly agrosilvicultural (tree with crops)

Rotational

Shifting cultivation

Managed tree fallows, including relay intercropping)

Taungya

Spatial mixed

Trees on cropland

Perennial-crop combination

Multistrata system (agroforests), including forest gardens, home gardens

Spatial zoned

Boundary planting

Trees on erosion-control structures

Windbreaks and shelterbelts (also sylvopastoral)

Hedgerow intercropping (allev cropping), including tree-row intercropping

Contour hedgerows

Biomass transfer (cut-and carry mulching)

Predominantly sylvopastoral (trees with pastures and livestock)

Spatial mixed

Trees on pastures (parkland systems)

Perennial crops with pastures (including orchard)

Spatial zoned

Hedges and live fences

Folder banks

Tree predominant (see also taungya)

Farm and village forestry

Reclamation agroforestry

Special components present

Entomoforestry (tree with insects)

Aquaforestry (tree with fish)

Sistem agroforestri menggabungkan ilmu kehutanan dan agronomi untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestariaan lingkungan, karena didalamnya terdapat tanaman pertanian bernilai komersial, seperti rempah-rempah dan kopi, juga berpeluang bagi tanaman pangan lainnya. Dengan kombinasi pohon, perdu dan tanaman semusim, akan dapat memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakarannya serta tanah menjadi produktif dan konservatif (de Foresta, 2000).

Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dijumpai adalah tumpangsari, diwajibkan di areal hutan jati di Jawa. Sistem ini dikembangkan dalam program perhutanan sosial Perum Perhutani. Sistem agroforestri sederhana juga menjadi ciri umum pada pertanian komersil seperti: tanaman kopi yang diselingi dengan tanaman dadap untuk naungan tanaman kopi maupun untuk kebutuhan kayu bakar petani. Demikian pula perduan pohon kelapa dengan pohon kakao juga semakin banyak dilakukan.

2. Kesuburan Tanah dan Degradasi Lahan

Kesuburan tanah adalah kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman, pada kondisi iklim dan lingkungan yang sesuai. Untuk mempertahankan produksi tetap lestari, maka cara untuk memelihara atau mempertahankan kesuburan adalah dengan memciptakan penggunaan lahan dalam kondisi ekosistem alami (Barrow, 1991). Dimana pengusahaan pertanian intensif secara monokultur yang menerapkan berbagai teknologi high-input pada areal yang lebih subur, telah mengakibatkan lahan marginal semakin luas (Reijntjes, 1999).

Bentuk-bentuk degradasi lahan antara lain: degradasi secara fisik (erosi tanah, baik oleh air ataupun angin), kimia (kemasaman tinggi dan penurunan kandungan unsur hara); dan biologi (penurunan kandungan bahan organik tanah dan aktivitas biologi tanah), salinisasi dan pencemaran tanah (Young, 1997). Degradasi lahan adalah masalah penggunaan tanah secara inherent yang mempunyai kesuburan rendah atau mempunyai potensi relatif rendah sehingga disebut juga sebagai lahan “fragile” atau “marginal”. Oleh karena itu, lahan marginal dan terdegradai adalah lahan yang dicirikan oleh tanah dengan status hara dan kapasitas menahan air sangat rendah, dan telah mengalami kerusakan serta kehilangan fungsi hidrologi dan ekonomi (Barrow, 1991).

Perubahan lingkungan daerah tropika berkaitan erat dengan pembukaan hutam, terjadinya pergeseran lahan pertanian ke daerah tengah dan hulu dengan kemiringan lahan lebih curam dan beresiko tinggi terhadap erosi. Degradasi lahan dan perluasan lahan kritis. Permasalahan tersebut mendorong munculnya upaya untuk mengenali dan mengembangkan sistem agroforestri yang telah diterapkan petani sejak dulu di daerah tropika, termasuk di Indonesia.

Peranan sistem agroforestri sebagai tindakan konservasi tanah untuk menghindari dan mengatasi masalah degradai lahan dan mencapai penggunaan yang berkelanjutan telah diterima secara luas (Cooper et al, 1996).

Keberlanjutan sistem penggunaan lahan sangat tergantung pada fleksibilitasnya dalam keadaan lingkungan yang terus berubah. Adanya keanekaragaman sumberdaya genetik yang tinggi pada tingkat usahatani akan menunjang fleksibilitas ini (Reijntjes, 1999). Menurut FAO (1995), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam yang berorientasi teknologi dan perubahan institusi untuk menjamin tercapainya kebutuhan manusia saat ini dan generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan seperti itu akan melindungi sumberdaya lahan, air, tanaman, dan sumberdaya genetik hewan dengan teknologi yang cocok, serta menguntungkan secara ekonomi, dan dapat diterima secara sosial tanpa kerusakan lingkungan.

Dengan demikian agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang tepat untuk mendukung pertanian berkelanjutan, karena disamping memiliki konstribusi produksi yang nyata dan beragam, juga fungsi konservatif terhadap lingkungan dan keadaan sosial sehingga menjamin ekonomi yang lebih luas dan keamanan pangan lebih tinggi (FAO, 1989).

3. Bentuk-Bentuk Sederhana Agroforestry dalam Pengelolaan Lahan

· Pengendalian Erosi Tanah dengan Penanaman Searah Garis Kontur

Penebasan/pembabatan alang-alang dan menggantikannya dengan penggunaan lahan lain menyebabkan permukaan tanah terbuka. Hal ini bisa mengakibatkan terjadinya erosi sehingga hasilnya menjadi lebih buruk. Penanaman tanaman penghalang atau sekat vegetatif sebagai penguat teras sepanjang garis kontur dapat mengendalikan erosi dan menyediakan bahan organik serta nitrogen bagi tanaman tertentu.Tanaman penghalang ini sangat bermanfaat bagi rehabilitasi padang alangalang. Pengendalian aliran air dari bagian atas lahan adalah sangat penting. Untuk mengendalikan aliran air dari bagian atas ini diperlukan bangunan-bangunan pengendali seperti dam, penahan tanah, saluran pembagi dan sebagainya.

· Bera yang disempurnakan

Bera arti harfiahnya adalah tanah "kosong" yang terlantar dan tidak diusahakan. Ruthenberg (1976) mendefinisikan bera (Fallow) adalah tanah "kosong" yang tidak ditanami untuk sementara waktu, tetapi sebelumnya telah ditanamiselama beberapa tahun dan akan ditanami kembali di waktu mendatang. Bera ini dilakukan oleh petani kerana

alasan rendahnya produksi tanaman per satuan tenaga kerja. Pada masa bera ini lahan ditumbuhi tumbuhan liar yang ditujukan untuk perbaikan kesuburan tanah baik fisik, kimia maupun biologi melalui penambahan bahan organik. Waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan kesuburan tanah ini bervariasi dari 5-10 tahun. Mengingat ketersediaan lahan pertanian yang sangat terbatas, maka perlu dicari pola bera dengan waktu yang lebih singkat dan memberikan pendapatan sampingan bagi petani (misalnya pakan ternak, kayu bakar, obat-obatan, latex, resin, madu dan sebagainya). Sistem pemberaan lahan yang ditujukan untuk perbaikan lahan secara ekologi dan ekonomi selanjutnya dinamakan "bera yang terawat” atau "bera yang disempurnakan” (Improved fallow).

Alang-alang sering mendominasi tanah yang ditelantarkan sebagai tumbuhan masa bera. Jika tidak pernah terjadi kebakaran, lahan akan ditumbuhi oleh semak belukar dan pepohonan). Pada saat terjadi kebakaran, padang alangalang sering menjadi sumber bencana kebakaran bagi kawasan di sekitarnya, sehingga selama bera tidak terjadi perbaikan kesuburan tanah. Bera yang terawat dengan menggunakan jenis tumbuhan selain alang-alang diharapkan memiliki kriteria sebagai berikut:

ü Memperbaiki kesuburan tanah melalui penambahan bahan organik dan peningkatan ketersediaan nitrogen dan fosfor. Jenis tumbuhan bera sebaiknya mampu menambat nitrogen (famili leguminosa) atau bisa menghasilkan banyak daun/seresah yang mudah terdekomposisi.

ü Melindungi tanah dari bahaya erosi.

ü Tumbuh cukup cepat sehingga mampu bersaing dengan gulma termasuk alang-alang dengan cara menaungi sehingga gulma tersebut akan mati.

ü Dapat dengan mudah dihilangkan/tidak berpotensi menjadi gulma bagi tanaman berikutnya.

ü Menghasilkan kayu, pakan ternak dan hasil yang bernilai ekonomis lainnya.

· Tanaman Kacang-Kacangan Penutup Tanah

Penanaman tanaman kacang-kacangan penutup tanah (LCCs = leguminous cover crops) dapat berfungsi sebagai mulsa hidup, untuk mengendalikan erosi dan mencegah tumbuhnya gulma. Banyak jenis tanaman ini merupakan pakan ternak yang bernilai gizi tinggi. Bila tanaman ini dibenamkan, akan menyumbang sejumlah besar bahan organik, nitrogen dan fosfor yang tersedia kedalam tanah.

Tanaman kacang-kacangan penutup tanah dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan alang-alang yang ada. Tanaman ini umumnya sangat bermanfaat untuk mencegah alang-alang tumbuh kembali setelah dapat dikendalikan. Tanaman kacang-kacangan ini sering ditanam sebagai tanaman sela, tanaman tumpang gilir (a relay crop), maupun sebagai tanaman bera. Batang tanaman kacang-kacangan yang mati dan kering mudah terbakar.

· Tanaman Semusim dan Tumpang Sari

Tanaman semusim dapat ditanam sebagai tanaman sela diantara pepohonan untuk

meng-hasilkan pendapatan dalam jangka pendek. Pada waktu tanaman semusim ditanam dan disiangi agar populasi alang-alang berkurang maka area ini menjadi tidak mudah terbakar. Pohon buah-buahan, karet dan pohon lainnya merupakan investasi yang penting, sehingga pengelolaan tanaman semusim harus hati-hati agar tidak merusak atau menyebabkan persaingan dengan pepohonan tersebut. Jika dikerjakan dengan benar, penyiangan dan pemupukan tanaman semusim akan menguntungkan juga bagi tanaman pohon. Sebagai contoh, pemupukan cabe besar juga baik bagi tanaman karet. Selain itu dengan sistem tumpang sari ini dapat mengurangi bencana kebakaran. Dengan pengelolaan tanaman semusim, maka lahan pertanaman semusim :

ü Relatif tidak mudah terbakar dibanding alang-alang.

ü Dipelihara dengan penyiangan atau mulsa untuk menghilangkan alang-alang.

ü Diikuti dengan tanaman semusim lain atau penutup tanah sehingga alang-alang tidak akan tumbuh kembali.

ü Cukup produktif dan menguntungkan bagi petani untuk tetap mempertahankan tanaman sela ini.

Tanaman tumpangsari yang dikenal secara umum antara lain padi gogo, ketela rambat, kacang-kacangan, kacang tanah, tomat, lada, labu (squash), dan jahe.

· Peranan Ternak Dalam Keterpaduan Sistem Agroforestri

a) Bagaiman ternak mempengaruhi konversi padang alang-alang

Olah tanah dangkal dan penyiangan gulma secara manual diantara tanaman semusim yang ditanam pada padang alang-alang tidak cukup untuk mengendalikan alang-alang sepanjang musim. Pembajakan dan penggaruan dengan tenaga ternak diperlukan untuk membongkar dan mengeringkan akar rimpang alang-alang. Cara ini lebih mudah serta lebih cepat jika dibandingkan dengan menggunakan peralatan tangan. Petani yang memiliki tenaga ternak memiliki kemampuan yang lebih baik untuk:

ü Lebih sering mengolah tanah untuk menghindari pertumbuhan kembali alang-alang.

ü Menanam tanaman sela diantara pohon yang ditanam.

ü Mengolah lokasi untuk pohon dan tanaman pagar sepanjang kontur.

ü Menarik gelondong kayu besar atau drum untuk menggilas dan meratakan alang-alang.

ü Memanfaatkan lahan penggembalaan ternaknya sebagai sekat bakar.

Petani yang memiliki tenaga ternak mungkin lebih bisa menerima alangalang sebagai vegetasi lahan bera. Bagi mereka juga lebih mudah untuk menanami lahan alang-alang ini dengan tanaman semusim. Ternak mereka mungkin tergantung pada alang-alang muda sebagai tempat pengembalaan. Akan tetapi ternak-ternak besar akan memadatkan tanah yang ditumbuhi alang-alang. Di daerah padang alang-alang maupun di tempat lain, ternak dapat memberikan manfaat kepada petani dalam hal:

ü Sebagai sumber pupuk kandang, merubah vegetasi menjadi sumber pupuk dengan kualitas lebih baik.

ü Sebagai sumber pendapatan tunai.

ü Sebagai sumber tenaga kerja.

b)Penggunaan alang-alang untuk menunjang peternakan

Alang-alang merupakan sumber rumput pakan ternak yang penting, karena sudah ada dalam jumlah sangat banyak di lahan pertanian atau tempat pinggiran hutan yang terbuka dan desa-desa. Alang-alang muda (0-15 hari) kualitasnya setara dengan Panicum maksimum (rumput guinea). Tetapi setelah 15 hari, kualitasnya akan menurun dengan cepat. Alang-alang miskin mineral terutama P dan ini terjadi jika tumbuh pada tanah yang tidak subur. Kerbau dan domba lebih tahan dan lebih cocok dengan pakan alang-alang dibandingkan ternak lainnya. Untuk mencapai produktivitas ternak yang optimum, harus diberikan pakan tambahan (suplemen) misalnya: Cajanus cajan (kacang gude), daun kacang-kacangan lainnya, kopra, garam dan mineral.

Hidayat, Musofie, Wardhani, Prasetyo dan Subagiyo (2000), melaporkan tentang keberhasilan integrasi ternak dengan pertanian di Jogjakarta, melalui penelitian dengan 70 orang petani responden. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak kambing di Desa Jatimulyo berintegrasi tanaman tahunan seperti tanaman kopi, cengkih dan kelapa sedangkan usaha ternak kambing di Desa Girikerto berintegrasi dengan tanaman salak pondoh. Untuk Desa Jatimulyo pendapatan yang diperoleh dari usaha tersebut sebesar Rp.2.759.750 per tahun dengan tingkat efisiensi usaha 2,23. Kontribusi pendapatan yang diberikan dari usahha ternak kambing P.E. di Desa Jatimulyo adalah 59,78 persen sedang tanaman tahunan memberikan kontribusi pendapatan sebesar 40,22 persen dari total pendapatan. Untuk Desa Girikerto pendapatan yang diperoleh dari usaha tersebut sebesar Rp. 3.682.000,-per tahun dengan tingkat efisiensi usaha 2,75. Kontribusi pendapatan yang diberikan usaha ternak kambing P.E di Desa Girikerto adalah 46,71 persen sedangkan tanaman salak pondoh memberikan kontrribusi pendapatan sebesar 53,29 persen dari total pendapatan.

· Agroforestry Multi Strata(Multistrory Agroforestry)

Sistem agroforestri multistrata paling tidak mempunyai tiga lapisan tajuk yang berasal dari tumpangsari berbagai tanaman yang mempunyai ketinggian yang berbeda. Lapisan yang lebih atas akan menaungi lapisan dibawahnya. Tegakan tua dari agroforestri kompleks hampir tidak menyisakan cukup cahaya pada permukaan tanah sehingga menyebabkan alang-alang tidak mungkin tumbuh.

Keaneka ragaman tanaman dalam agroforestri multistrata dapat mengurangi resiko kegagalan. Jika satu tanaman gagal atau harganya turun, petani masih mempunyai jenis tanaman lain untuk keperluan hidupnya atau untuk sumber pendapatan kontan. Karena petani masih mempunyai berbagai tanaman lainnya yang bercampur, maka lahan

agroforestri ini tidak akan diabaikannya. Bahkan meskipun diabaikan, agroforestri yang dewasa tidak akan berubah menjadi padang alang-alang. Agroforestri multistrata umumnya dikembangkan oleh para petani kecil jika mereka.

ü Menanam pohon pelindung untuk tanaman-tanaman yang menghendaki naungan seperti kopi dan kakao.

ü Meningkatkan produktivitas penggunaan ruang diantara dan di bawah tanaman komersial seperti karet dan kelapa.

ü Memperkaya bera dengan menanam berbagai jenis tanaman seperti rotan dan umbi-umbian.

ü Menanam berbagai jenis tanaman dengan masukan rendah serta sedikit pemeliharaan.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam rangka usaha peningkatan produktivitas lahan melalui sitem usaha tani ramah lingkungan dan penerapan agroforestry, dapat di kesimpulan, yaitu :

1. Lahan marginal dicirikan dengan tanah dengan status hara dan kapasitas menahan air sangat rendah, telah mengalami kerusakan dan kehilangan fungsi hidrologis maupun ekonomi yang diakibatkan oleh erosi air atau angin, selain itu telah mengalami penurunan status unsur hara, bahan organik, serta aktifitas biologi tanah, terjadi salinitas dan pencemaran

2. Usaha peningkatan produktivitas lahan yang berorientasi kelestarian lingkungan dapat ditempuh melalui perbaikan cara bercocok bertanam, diantaranya dengan Usahatani konservasi, budidaya lorong, cara tumpangsari, penggunaan biofertilizer, dan penggunaan pupuk organik, serta Seleksi Tanaman Adaptif Pada Kondisi Cekaman Lingkungan.

3. Sistim agroforestri dengan berbagai bentuknya telah terbukti sebagai sistem penggunaan lahan yang cukup ideal dan mampu mengendalikan degradasi lahan akibat erosi air dan angin. Disamping itu secara ekonomi memberikan pendapatan yang cukup tinggi.Peran agroforestri sebagai salah satu tindakan konservasi tanah dan air pada lahan marginal kiranya menjadi salah satu pilihan yang dapat mengatasi degradasi lahan dan penggunaan lahan yang bekelanjutan yang telah diterima oleh masyarakat. Sistem agroforestri ini perlu dikembangkan dan modifikasi pada kondisi iklim dan budaya masyarakat setempat.

Dari urain di atas diharapkan dapat membuka cakrawala berfikir kita semua yang bergerak dalam bidang pertanian dan kehutanan serta penyelamat lingkungan terutama terhadap aspek-aspek yang belum dikaji, sehingga akhirnya produksi pertanian dan keutanan terus dapat ditingkatkan dengan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, S., H. Suhardjo, I.P.G. Widjaja Adhi, H. Suwardjo, S. Sukwana, dan M. Sudjadi. 1986. Hasil rencana penelitian lahan kering di Jambi. Dalam Risalah Lokakarya Pola Usahatani, Bogor 2-3 Sepetember 1986. Buku 2. P.395-427.

Alexander, M., 1977. Introduction to Soil Microbiology. Second Edition. Cornel University, USA

Andrews, D.J. and A.H. Kassam, 1976. The Importance of Multiple Cropping in Increasing World Food Supplies. Matthias Satelly (ed). Multiple Cropping American Society of Agronomy. Crop Science Society of America and Soil Science of America Inc. Visconsin.

Barrow, C.J. 1991. Land Degration: Divelopment and Breakdown of Terrestial Enviroment. Great Britain. Cambridge University Press.

Chapmen A.L. and R.J.K Myers, 1987. Nitrogen Contribution by Grain Legumes to Rice Growth in Rotation on the Cucunura Soil of the Ord Irigation Area West Australia. Aust. J.Exp.Agric (27): 155 – 163.

Cooper, P.J.M., Leakey, R.R.B., Rao, M.R and Reynolds, L. 1996. Agroforestri and Mitigation of Land Degradation in the Humid and Sub Humid Trofical of Africa, Experimental Agriculture 32, 249-261.

De Foresta, H.A, Kuswono, G. Mechon dan W.A. Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Jutan. Agroforest Khas Indonesia. Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Center for Research in Agroforestry. Bogor, Indonesia.

Eggar, K., 1987. Berbagai Cara dan Kemungkinan Pelaksanaan Ekofarming di Daerah Pegunungan Afrika Timur. Penyunting Joachim Metzner & N. Daldjoeni. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 211 – 260

Evensen, C and R. Joss. 1986. Alley cropping experiment 1985/86 growing season. Tropsoil. Field Research Brief CSR Bogor No. 33: 1-7

FAO, 1995. Planningfor Sustainable Use of Zland Resources. Toward a New Approach. FAO Land and Water bulletin, FAO, Rome.

Fukoka, M., 1994. Empat Azas Bertani Alami. Kyusei Nature Farming, 03 (2) : 42 – 46.

Gardner, F.P., R.B. Pearce and R.L. Mitchell, 1985. Physiology of Crop Plant. Iowa, State University Press.

Hakim, N. 1985. Pemharuh sisa pupuk hijau, kapur, pupuk P dan Mg oada tanah podsolik terhadap produksi jagung. Makalah Seminar Hasil Penelitian Perguruan Tinggi. Bandung, 25-28 Februari 1985. Ditjen Dikti Depdikbud

Higa, T., 1994. Effective Microorganisms. Dimensi Baru dalam Kyusei Nature Farming, Jakarta.

Higa, T., dan G. N. Wididana,1994. Effective Microorganisms. Dimensi Baru dalam Kyusei Nature Farming. Tumbuh, Jakarta.

http://www.lablink.or.id/Env/Agroforestri/agf-def.htm-- Pengertian Agroforestri

http://www.bdpunib.org/jipi/artikeljipi/2002/10.PDF-- Lahan pasca dofortasi

http://www.worldagroforestrycentre.org/Sea/Publications/Files/book/BK0028-04/BK0028-04-3.pdf--- 4 Pemecahan masalah:upaya menuju pertanian berkelanjutan.

http://www.worldagroforestrycentre.org/Sea/Publications/Files/book/BK0055-04/BK0055-04-6.pdf--- Peranan agroforesty

http://www.worldagroforestrycentre.org/SEA/Publications/files/bookchapter/BC0110-04.PDF+Agroforest

Hildebrand, P. E., 1987. Sistem Bertanam Tumpang Gilir ; Segi Ekonomi dan Agronomi Ekofarming. Penyunting Joachim Metzner & N. Daldjoeni. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 401 – 420

Institut Pertanian Bogor. 1987. Monitoring and improving agriline use in trans II area. Laporan Akhir Tim Studi Kapur (TSK IPB). Kerjasama PSP2DT Pusat dengan IPB

Kartaatmadja, S. dan A.M. Fagi. 1999. Pengelolaan tanaman terpadu konsep dan penerapan. Simpoasim penelitian tanaman pangan iv. 22-24 Nopember 1999. Bogor. p 75-89.

Kang, B.T., G.F. Wilson and T.L. Lowson. 1984. Alley cropping stable alternative to cultivation. IITA. Ibadan, Nigeria.

Lingga P., 1986. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya, Jakarta

Manwan, I. 1993. Strategi dan langkah operasional penelitian tanaman pangan berwawasan lingkungan. Proseding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor 23-25 Agustus 1993. P 65-97.

Munandar, R., 1984. Tanah dan Seluk Beluknya Bagi Pertanian. Sinar Baru, Bandung.

Muntoya, 1994. Menuju Pertanian Alami dengan Teknologi Effective Microorganisms. Tumbuh :24 – 26, Jakarta.

Palaniappan, S.P., 1988. Cropping System in The Tropic. Wiley Eastern Limited and and Tamil Nadu Agricultural university.

Prihatini, T., A. Kentjanasari dan J. Sri Adiningsih, 1996. Peningkatan Kesuburan Tanah Melalui Pemanfaatan Biofertilizer dan Bahan Organik. Makalah dsampaikan dalam Seminar Nasional Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi. Universitas Brawijaya, Malang.

Trenbath, B. R., 1976. Plant Interaction in Mixed Crop Communities. . Matthias Satelly (ed). Multiple Cropping American Society of Agronomy. Crop Science Society of America and Soil Science of America Inc. Visconsin.129 - 169

Toha H.M. dan Abdurrahman, A. 1991. Penggunaan bahan organik pada pola tanam lahan kering di tanah vulkanik eutropept laboratotoirum lapangan uangaran, semarang. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertatanian . Departemen Pertanian. 1991. gembangan dan

Umi Haryati., A Rachman., Y. Soelaeman dan T. Prasetyp. 1991. Efectivitas penurunan erosi, hasil tanaman pangan dan daya dukung ternak dalam sistem pertanaman lorong. Pembahsan HASil Penelitisn UACP-FSR. Bandung.

UACP-FSR. 1990. Petunjuk teknis usahatani konservasi daerah aliran sungai. Badan Litbang Pertanian.

Zaini, Z., A. Taher, and A. Jugsujinda. 1985. Soil fertility and plant studies for upland rice in Sitiung acid upland soil af west Sumatera. Sukarami Rsearch Intitute for Crop, Padang, Indonesia.

Hauck, F.W. 1981. The Relevance of soil conservation. In. R.P.C. Morgan (ed). Soil Conservation Problems and Prospects.